Apa itu wali Allah?
Secara bahasa wali berarti “al-qorib”, yaitu dekat.
Dalam ayat disebutkan,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63).
Dari ayat di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wali Allah,
فَأَوْلِيَاءُ اللهِ هُمُ المُؤْمِنُوْنَ المُتَّقُوْنَ
“Wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa” (Al-Furqan bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 25)
Sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa wali Allah adalah,
كُلُّ مُؤْمِنٍ تَقِيٍّ لَيْسَ بِنَبِيٍّ
“Setiap orang beriman dan bertakwa selain dari nabi.” (Disebutkan dalam Minhaj As-Sunnah, 7:28 dan Fatawa Muhimmah li ‘Umum Al-Ummah karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hlm. 84)
Al-wali secara bahasa berarti al-qarib, artinya dekat. Sebagaimana penyebutan dalam hadits berikut ini,
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan Muslim, no. 1615)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Yang benar-benar termasuk wali Allah adalah orang yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan ajaran yang beliau bawa, serta mengikuti ajaran tersebut secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, tetapi tidak mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah termasuk wali Allah. Bahkan jika menyelisihi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’ Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran : 31)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
اِدَّعَى قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللهَ فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ الآيَةَ مِحْنَةً لَهُمْ
“Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”. Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah akan mencintainya. Namun, siapa yang mengklaim mencintai Allah, tetapi tidak mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidaklah termasuk wali Allah. Banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya. Bisa dilihat, Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa mereka adalah wali Allah, yang masuk surga hanyalah dari golongan mereka saja, mengaku bahwa mereka adalah anak Allah dan kekasih-Nya, ternyata hanya klaim semata.” (Al-Furqan Bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 30)
Wali Allah yang paling utama
Wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Lantas dari nabi dan rasul yang paling utama adalah ‘ulul ‘azmi. Disebut ulul ‘azmi karena mereka itu paling sabar dan memikul beban berat. ‘Azmi itu artinya sabar sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Furqan (hlm. 36). Ulul ‘azmi ini adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad shalawaatullahu ‘alaihim ajma’in. Ulul ‘azmi yang paling utama adalah nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para nabi, imamnya orang-orang bertakwa, sayyid anak adam, dan pemimpin para nabi. Lihat bahasan ini dalam Al-Furqan, hlm. 28 dan 29.
Tingkatan Wali Allah
Patut dipahami, wali Allah itu ada dua macam:
- As-saabiquun al-muqorrobun (wali Allah terdepan);
- Al-abror ash-habul yamin (wali Allah pertengahan).
As-saabiquun al-muqorrobun adalah hamba Allah yang selalu mendekatkan diri pada Allah dengan amalan sunnah, di samping melakukan yang wajib, serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang makruh.
Al-abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak menahan diri dari berlebihan dalam yang mubah.
Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ (1) لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ (2) خَافِضَةٌ رَافِعَةٌ (3) إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا (4) وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا (5) فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا (6) وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً (7) فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8) وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (9) وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ (10) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (11) فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ (12) ثُلَّةٌ مِنَ الْأَوَّلِينَ (13) وَقَلِيلٌ مِنَ الْآَخِرِينَ (14)
“Apabila terjadi hari kiamat, tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (QS. Al-Waqi’ah: 1-14).
Penyebutan dua macam wali ini juga ada dalam hadits qudsi yang dikaji kali ini. Lihat Al-Furqan, hlm. 47 dan 51.
Baca Juga: Tingkatan Wali Allah
Sifat wali Allah As-Saabiquun Al-Muqorrobun (Wali Allah Terdepan)
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Mereka itu mendekatkan diri kepada Allah dengan menjadikan amalan mubah (yang hukumnya boleh) menjadi suatu ketaatan, mereka menjadikan amalan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga amalan mereka semuanya bernilai ibadah.” Lihat Al-Furqan, hlm. 52.
Tingkatan Makrifat Menurut Sufi
Tentang firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah pada Allah sampai datang kepada kalian yakin (ajal atau kematian).” (QS. Al-Hijr: 99).
Ibnu Katsir rahimahullah mengkritisi pemahaman kaum sufi mengenai ayat ini, “Beribadahlah sampai yakin”, yaitu beribadahlah sampai pada tingkatan makrifat. Ketika sudah sampai tingkatan makrifat, maka tidak ada lagi beban syariat. Tidak lagi wajib shalat dan ibadah lainnya. Ibnu Katsir menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah kufur, sesat, dan jahil. Karena para Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam, begitu pula para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling mengenal Allah. Mereka tahu cara menunaikan kewajiban pada Allah. Mereka juga tahu bagaimanakah sifat Allah yang mulia. Mereka tahu bagaimanakah mengagungkan Allah dengan benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:666)
Walau mereka sudah sampai tingkatan makrifat (mengenal Allah seperti itu, pen.), mereka ternyata paling rajin dan paling banyak ibadahnya pada Allah Ta’ala. Mereka terus beribadah pada Allah hingga mereka meninggalkan dunia. Jadi yang benar, makna al-yaqin di sini adalah al-maut (kematian) sebagaimana dikemukakan sebelumnya.”
Mukjizat, Karamah, dan Ilmu Magis
Ada empat hal yang mesti dibedakan yaitu mukjizat, karamah, ilmu magis (black magic), dan kejadian luar biasa pada para pendusta. Keempat hal ini adalah kejadian luar biasa di luar kemampuan manusia.
Pertama, mukjizat
Mukjizat (aayatun nabi) adalah perkara di luar kebiasaan yang Allah tampakkan pada nabi untuk mengokohkan dan membuktikan kebenaran mereka sebagai seorang nabi. Contoh mukjizat adalah pada Nabi Isa. Nabi Isa menghidupkan yang mati, bahkan mengeluarkannya dari kubur setelah dimakamkan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَىٰ وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا ۖ وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ ۖ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي ۖ وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي ۖ وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِي ۖ وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”.” (QS. Al-Maidah: 110)
Kedua, karamah
Karamah adalah perkara luar biasa, tetapi bukan dari para nabi, yakni dari pengikut para nabi atau dari kalangan wali Allah. Contohnya adalah pada Maryam yang menggoyangkan batang kurma. Dalam ayat disebutkan,
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25). Buah kurma yang masak itu tidak hancur. Ini namanya karamah. Begitu juga Maryam bisa hamil (tanpa suami) hingga melahirkan adalah suatu karamah. Dalam ayat disebutkan,
وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 91)
Ketiga, ilmu magis (ilmu hitam)
Ilmu magis (sya’wadzah) adalah sesuatu yang Allah tampakkan pada orang yang mengabdi pada jin. Ini sebagai bentuk ujian bagi dirinya dan orang lain, yang membuat tukang sihir itu semakin sesat. Ilmunya datang dari setan, sehingga yang memilikinya tidak disebut wali Allah, apalagi seorang nabi.
Keempat, kejadian luar biasa pada para pendusta
Kejadian ini untuk membuat orang yang memilikinya semakin hina dan menunjukkan kedustaannya. Ini seperti yang ada pada Musailamah Al-Kadzdzab. Ia mengaku sebagai nabi di akhir-akhir hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan punya banyak pengikut. Suatu hari ada petani yang mendatangi Musailamah, mereka mengadukan padanya bahwa sumur mereka kering, airnya hanya tersisa sedikit sekali. Mereka meminta kepada Musailamah supaya mendatangi sumur tersebut lantas ia meludah ke dalam sumur, seakan-akan ia mengembalikan air. Ia pun pergi, mereka lantas memberikan pada Musailamah air, ia pun berkumur-kumur dengan air tersebut kemudian ia memuntahkannya ke dalam sumur. Akhirnya di sumur itu terdapat air. Ketika ia meludah lagi, air tersebut jadi kering lagi dan tidak tersisa sedikit pun.
Karamah wali itu asalnya dari mana?
Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqan (hlm. 158) menyatakan bahwa karamah wali Allah diperoleh dari keberkahan karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara hakiki itu masuk dalam mukjizat yang ada para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di halaman sebelumnya (hlm. 157) disebutkan bahwa wali Allah yang bertakwa adalah yang mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengerjakan setiap perintah beliau dan meninggalkan apa yang beliau larang.
Faedah hadits
- Memusuhi wali Allah termasuk dosa besar.
- Wali Allah itu ada dan tidak bisa diingkari.
- Adanya peperangan dari dan terhadap Allah Ta’ala.
- Hadits ini jadi dalil keutamaan wali Allah.
- Adanya karamah wali, karena siapa saja yang memusuhi wali Allah, Allah mengumumkan perang terhadapnya.
- Allah memiliki sifat cinta, dan cinta Allah itu bertingkat-tingkat.
- Amal saleh merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Perintah Allah berupa amalan wajib dan amalan sunnah.
- Amalan itu bertingkat-tingkat.
- Yang Allah cintai adalah amalan wajib, kemudian amalan sunnah.
- Yang mesti didahulukan adalah amalan wajib, kemudian amalan sunnah, inilah asalnya.
- Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa semua bentuk maksiat berarti menyatakan perang kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:335)
- Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Kewajiban badan yang paling agung adalah menunaikan shalat.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:336).
- Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Amalan sunnah yang paling mendekatkan diri kepada Allah adalah memperbanyak membaca, mendengarkan, merenungkan, dan memahami Al-Qur’an.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:342).
- Manfaat amalan sunnah:
- mendapatkan cinta Allah
- mendapatkan ma’iyatullah (pertolongan Allah pada pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki)
- doanya mudah dikabulkan.
Kaedah dari hadits
- Amalan wajib lebih didahulukan dari amalan tawaabi’ (amalan sunnah).
- Cinta Allah itu bertingkat-tingkat.
Sumber https://rumaysho.com/24997-hadits-arbain-38-menjadi-wali-allah-dengan-amalan-wajib-dan-sunnah.html
Syarah 2
Mengumumkan perang
Hadits ini berisi ancaman untuk mereka yang memusuhi wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi siapa wali-wali Allah itu?
Wali berasal dari kata “kedekatan”. Pokok dasar wali adalah kedekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wali adalah orang-orang yang dekat dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sebelumnya dia mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebelumnya dia mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tunjukkan itu dengan amal-amal shalih dan memperbanyak takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ…
“Katakanlah wahai Rasulullah: ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Aku akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian…” (QS. Ali-Imran[3]: 31)
Jadi berawal dari mengaku cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), menjalankan ketaatan dan ibadah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka buahnya adalah dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang mengaku cinta banyak, tapi banyak yang hanya sekedar klaim dan mengaku-ngaku, tidak benar-benar bisa membuktikan cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun wali adalah mereka yang benar-benar membuktikan cintanya kepada Allah dan buktinya adalah bahwasanya Allah kemudian mencintai dia. Karena mengklaim cinta kepada Allah itu gampang, tapi mendapatkan cinta dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ini yang susah. Makanya sebagian ulama mengatakan:
ليس الشأن أن تُحب ولكن الشأن أن تُحَب
“Yang penting itu bukan engkau mengklaim cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi yang lebih penting adalah Allah cinta kepadamu atau tidak.”
Yang lebih bernilai/berharga adalah kalau Allah cinta kepada kita. Maka barangsiapa yang Allah sudah cintai maka berarti dia adalah wali Allah.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwasanya para wali adalah yang memiliki kriteria:
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yunus[10]: 63)
Jadi mereka adalah orang-orang yang imannya tebal, takwanya tinggi, kemudian mereka mendapatkan cinta dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena keshalihan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
…وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang-orang shalih.” (QS. Al-A’raf[7]: 196)
Konsep kewalian dalam agama kita sederhana, tidak identik dengan kejadian-kejadian aneh. Wali tidak harus memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa, tidak harus memiliki karomah yang sifatnya adalah kejadian-kejadian aneh yang mirip dengan mukjizatnya para Nabi dan Rasul.
Wali juga bukan orang yang gila, kemudian orang-orang di sekitarnya meyakini hal-hal yang tidak masuk akal tentang orang itu, bukan itu. Wali dalam konsep Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cinta yang sesungguhnya. Kemudian sebagai buahnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka karena keshalihan dan takwa mereka yang tinggi serta iman mereka yang tebal.
Merekalah para wali yang kita tidak boleh memusuhi mereka. Kewajiban kita adalah mencintai mereka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita menghormati dan mencintai mereka karena mereka sudah sedemikian mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka telah buktikan cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai ketaatan dengan melakukan berbagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan insyaAllah di sekitar kita selalu ada orang-orang seperti itu. Masih banyak orang baik yang banyak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak banyak berbuat maksiat.
Mereka itulah orang-orang yang banyak datang ke masjid, banyak beribadah di masjid, shalat jamaah, melakukan berbagai ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki ibadah sosial yang banyak, birrul walidain, membantu tetangga dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu adalah para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, meskipun mereka tidak memiliki kemampuan-kemampuan linuwih. Karena bukan itu patokannya. Patokannya adalah iman, takwa dan keshalihan.
Maka kalau di sekitar kita ada orang-orang seperti itu mari kita cintai mereka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita hormati mereka dan jangan sampai kita memusuhi atau membenci mereka. Karena kalau sampai kita memusuhi mereka maka Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mengumkan perang kepada kita. Na’udzubillahi min dzalik.